Memandang keluar jendela, lelaki itu menyeruput kopi hangatnya perlahan.
Pahit, tanpa gula.
Ia memang menyukai kopi seperti itu.
Hanya saja perasaannya kini lain.
Kedai kopi ini, dengan pemandangan yang tersedia dari jendela, sekilas sama saja. Lelaki itu menggenggam gelas kopi berwarna coklat dan menggunakan suhunya untuk sedikit melegakan tangannya yang kedinginan.
Duduk di pojokan kedai, dimana ia bisa memiliki pandangan yang luas untuk mengamati setiap detil yang terjadi di dalam kedai, juga memandang trotoar diluar yang penuh dengan orang lalu lalang.
Diluar hujan gerimis,
mengundang perasaan untuk menjadi sentimentil dan kopi hangat nampaknya menjadi pasangan yang paling sempurna. Walaupun begitu, tidak banyak yang sepertinya ingin duduk diam dan menikmati teduhnya suasana dengan menghela nafas dalam-dalam.
Orang-orang itu, mengambil nafasnya cepat dan melangkah terburu-buru.
Entah mengejar apa.
Lelaki itupun tidak terlalu peduli, sama tidak pedulinya dengan orang-orang yang bahkan tidak menoleh untuknya.
Sama dengan pikirannya tentang perempuan itu..
Lelaki itu mengambil nafas panjang dan melihat bangku kosong di depannya,
meneguk kopinya kembali, perlahan.
“Terimakasih”, perempuan itu mengambil kembalian dari kasir dan membawa gelas cappuccino-nya. Ia menarik kursi dan duduk di pojokan kedai.
Kali ini ia tidak membawa buku untuk menutupi kesendiriannya.
Tidak juga catatan kecil untuk menuangkan puisi-puisinya yang biasa.
Ia hanya ingin duduk dan mengamati sekeliling kedai.
Dan pojokan itu, adalah tempat dengan perspektif yang paling tepat.
Ia membakar rokoknya perlahan. Kali ini, tidak ada yang akan merebut batang rokok perempuan itu, menyuruhnya berhenti, kemudian gantian menghisapnya untuk kemudian ditertawakan bersama.
Tidak ada.
Kedai ini masih sama saja, pikir perempuan itu.
Hanya kursi kosong di depanku yang membuatnya lain.
Perempuan itu mencoba mengingat-ingat segala percakapan yang pernah dilaluinya dulu di meja ini.
Tawa yang dibagi, obrolan serius, curahan hati, bahkan tangis yang pernah ia tumpahkan di atas meja ini. Hingga akhirnya waktu itu tiba, hingga akhirnya ia memilih untuk berkunjung ke kedai kopi yang lain.
Tapi sekarang ia tak bisa menahan keinginannya untuk kembali duduk di kedai ini.
Ia ingin, hanya ingin.
Di posisi yang sama, dengan menyeruput cappuccino.
Tidakkah mereka bisa melihat satu sama lain?
Tidakkah mereka menyadari apa yang sebenarnya mereka rasakan?
Mereka saling mencintai.
Dan mereka justru saling berprasangka.
Mereka tampak berada dalam dua dimensi yang berlainan.
Tak punya penglihatan itu,
tak bisa merasakan itu,
tak bisa mendengar jiwa itu.
Bentuk yang aku miliki memang tidak cukup pantas untuk berbicara banyak mengenai hubungan kalian, tapi aku melewati semua yang kalian berdua lewati.
Aku bisa melihat kaitan tak terlihat antara jiwa kalian.
Aku melihat semua kegelisahan kalian yang sebenarnya.
Bahkan kopi panas yang kalian letakkan bergantian di atas tubuhku tak bisa menghilangkan kemampuanku untuk merasakan itu semua.
Aku,
mungkin hanya meja kayu tua yang diletakkan di pojokan sebuah kedai kopi kecil.
Tapi, aku benar-benar ingin melihat kalian bahagia.