state of mind
Asmarandhany Thoughts
Just a compilation of my random thoughts throughout the year.
Jalanan.
2009.
Aku tahu mungkin aku memang menyimpang.
Tidak, menurutku aku tak menyimpang dari simpang manapun. Namun di dunia tempatku hidup, dengan penuh kategori-kategori berdasarkan prasangka, aku bahkan mungkin sudah menyebrangi norma.
Fisikku memang tak mengundang siapapun untuk memuja, atau memanja seperti diskriminasi kesempatan yang sering didapat orang buruk daripada cantik. Namun aku bangga dengan diriku yang tak berpura-pura.

Gedung tinggi ibukota, monumen berpuncak emas,
kendaraan seharga rumah lalu lalang, rumah seharga usia hidupku memadat,
ketamakan sinis bersatu dengan udara gersang kota ini. Oksigen itu yang kuhirup setiap hari.

Lelah sudah aku dengan protes keadilan. Tak kan terdengar oleh mereka yang senang makan malam di pencakar langit. Bahkan pegawai kelurahan, memandangku dari sudut bawah matanya.

Norma apa yang telah hidup begitu lama?

Melalui kacamata rusak merekapun aku masih saja salah.
Apa baiknya mereka dibandingku?
Jawaban mereka terlalu klise.
Mereka tak pernah mengerti.

Lembar demi lembar penukar kukumpul setiap hari.
Bonus cemoohan kuanggap angin lalu.
Aku tak peduli. Aku tak ingin kelaparan saja hari ini.

Persetan dengan tukang bakso yang menyajikan mangkoknya dengan segan ke hadapanku. Setahuku pelanggan yang lain membayar jumlah yang sama denganku.

Dunia yang ini memang aneh.
Dibawah jembatan ini aku sering merenungi nafas, berusaha memahami hidupku. Anak-anak kecil itu berlarian dengan sandal jepit mereka dan mulai mengejekku senang. Biarlah, mereka tak punya mainan lain.
Melihat mereka girang dapat uang dari balik kaca mobil saja sudah membuatku memaafkan.

Kupandangi jalanan lebar hasil pembangunan, dan mengusir penat dengan duduk di atas koran.

Duh, dunia.

Mungkin aku masih saja belum memahami apa-apa tentangmu.
Mungkin juga aku yang salah reinkarnasi.

Jembatan ini, debu ini, koran bekas ini, jalanan ini, lampu merah ini, coretan pylox ini, akan jadi saksiku hari ini.

Aku,
Barbara,
tak akan menyerah dengan jalan hidupku yang ini.

Aku lalu berjalan cepat ke arah mobil-mobil yang berhenti di perempatan.
Membetulkan sumpalan di dadaku, menggenggam kecrekanku erat.

Siapa yang peduli, aku memang bencong.

Yang penting aku tak kelaparan hari ini.

Fighting for love.
2008.
Kami menyebutnya jiwa.
Ya, jiwa.
Kami yang memiliki sifat yang sama sekali berbeda, disatukan oleh satu jiwa, satu kesamaan.

Kami sama-sama mencintainya.

Mencintai lelaki yang sama membuat semuanya menjadi rumit sekaligus tidak biasa. Kami seperti berebut untuk mengatakan bahwa cara ini adalah yang paling baik.

Untuk salah satu dari kami, dan tentu saja untukknya yang kami cintai.

Dari setiap detik yang kami gunakan untuk mencintai lelaki itu, kami tidak pernah menyesal. Kehidupan selalu menjadi sesuatu yang terlalu ajaib untuk dilewatkan begitu saja setiap bagiannya. Kami mencintai lelaki itu apa adanya. Hanya dengan cara yang berbeda. Dan itulah yang membuat kami akhirnya bertengkar.

Aku mencintainya dengan logika yang kupunya. Dengan pedih dan perih dari setiap usaha menolak untuk meneruskan rasa cintaku padanya betapapun yang kurasa.

Sebaliknya, ia dengan menggebu lantang meneriakkan rasa cintanya untuk yang kami cintai. Ia menggunakan segenap perasaan di dalam ruang hatinya hanya untuk bisa memelihara dan merawat setiap potongan kasih yang ia miliki untuk yang kami cintai.

Kami tidak tahu sejauh mana ia menyukai kami berebut menjadi yang paling benar dalam hal ini. Kami bahkan tidak tahu sejauh mana ia menyukai kasih yang coba kami berikan padanya.

Kami tidak tahu, apakah kami akan pernah memenangkan hatinya yang sejati. Atau apakah yang kami lakukan ini benar atau salah adanya, untuknya.

Untuk yang kami cintai.

Aku melipat secarik kertas putih bergaris dan meletakkan pena hitam dari genggamanku ke atas meja. Melirik ke arah perempuan itu dan tersenyum. Ia membalasnya dengan senyum yang sama dari seberang cermin.

Raut yang sama, penuh arti.
Aku dan perempuan itu sama-sama mencintainya.

Walaupun dengan cara yang berbeda.

Kedai Kopi.
2008.
Memandang keluar jendela, lelaki itu menyeruput kopi hangatnya perlahan.
Pahit, tanpa gula.
Ia memang menyukai kopi seperti itu.
Hanya saja perasaannya kini lain.

Kedai kopi ini, dengan pemandangan yang tersedia dari jendela, sekilas sama saja. Lelaki itu menggenggam gelas kopi berwarna coklat dan menggunakan suhunya untuk sedikit melegakan tangannya yang kedinginan.
Duduk di pojokan kedai, dimana ia bisa memiliki pandangan yang luas untuk mengamati setiap detil yang terjadi di dalam kedai, juga memandang trotoar diluar yang penuh dengan orang lalu lalang.

Diluar hujan gerimis,
mengundang perasaan untuk menjadi sentimentil dan kopi hangat nampaknya menjadi pasangan yang paling sempurna. Walaupun begitu, tidak banyak yang sepertinya ingin duduk diam dan menikmati teduhnya suasana dengan menghela nafas dalam-dalam.

Orang-orang itu, mengambil nafasnya cepat dan melangkah terburu-buru.
Entah mengejar apa.
Lelaki itupun tidak terlalu peduli, sama tidak pedulinya dengan orang-orang yang bahkan tidak menoleh untuknya.
Sama dengan pikirannya tentang perempuan itu..
Lelaki itu mengambil nafas panjang dan melihat bangku kosong di depannya,
meneguk kopinya kembali, perlahan.

“Terimakasih”, perempuan itu mengambil kembalian dari kasir dan membawa gelas cappuccino-nya. Ia menarik kursi dan duduk di pojokan kedai.
Kali ini ia tidak membawa buku untuk menutupi kesendiriannya.
Tidak juga catatan kecil untuk menuangkan puisi-puisinya yang biasa.
Ia hanya ingin duduk dan mengamati sekeliling kedai.
Dan pojokan itu, adalah tempat dengan perspektif yang paling tepat.

Ia membakar rokoknya perlahan. Kali ini, tidak ada yang akan merebut batang rokok perempuan itu, menyuruhnya berhenti, kemudian gantian menghisapnya untuk kemudian ditertawakan bersama.
Tidak ada.

Kedai ini masih sama saja, pikir perempuan itu.
Hanya kursi kosong di depanku yang membuatnya lain.
Perempuan itu mencoba mengingat-ingat segala percakapan yang pernah dilaluinya dulu di meja ini.

Tawa yang dibagi, obrolan serius, curahan hati, bahkan tangis yang pernah ia tumpahkan di atas meja ini. Hingga akhirnya waktu itu tiba, hingga akhirnya ia memilih untuk berkunjung ke kedai kopi yang lain.
Tapi sekarang ia tak bisa menahan keinginannya untuk kembali duduk di kedai ini.
Ia ingin, hanya ingin.
Di posisi yang sama, dengan menyeruput cappuccino.

Tidakkah mereka bisa melihat satu sama lain?
Tidakkah mereka menyadari apa yang sebenarnya mereka rasakan?
Mereka saling mencintai.
Dan mereka justru saling berprasangka.
Mereka tampak berada dalam dua dimensi yang berlainan.


Tak punya penglihatan itu,
tak bisa merasakan itu,
tak bisa mendengar jiwa itu.

Bentuk yang aku miliki memang tidak cukup pantas untuk berbicara banyak mengenai hubungan kalian, tapi aku melewati semua yang kalian berdua lewati.
Aku bisa melihat kaitan tak terlihat antara jiwa kalian.
Aku melihat semua kegelisahan kalian yang sebenarnya.

Bahkan kopi panas yang kalian letakkan bergantian di atas tubuhku tak bisa menghilangkan kemampuanku untuk merasakan itu semua.

Aku,
mungkin hanya meja kayu tua yang diletakkan di pojokan sebuah kedai kopi kecil.
Tapi, aku benar-benar ingin melihat kalian bahagia.

Made on
Tilda